Sengketa Tanah Ulayat di Bindu: Masyarakat vs PT Perkebunan Mitra Ogan

OKU, Peristiwaterkini – Sejak berakhirnya Hak Guna Usaha (HGU) PT Mitra Ogan pada tahun 2024, masyarakat di wilayah Bindu, Kecamatan Peninjauan, menuntut hak mereka atas tanah seluas 5.000 hektar yang diklaim sebagai tanah ulayat atau tanah marga.

Sengketa ini melibatkan masyarakat adat dari Desa Bindu, Lubuk Rukam, dan Desa Durian dengan pihak perusahaan yang diduga masih menguasai lahan tersebut meski izin HGU telah habis masa berlakunya setelah 35 tahun sejak 1989.

Menurut perwakilan masyarakat, Sahlan, tanah tersebut seharusnya dikembalikan kepada masyarakat adat sesuai dengan hukum yang berlaku. Ia menegaskan bahwa wilayah Kecamatan Peninjauan sejak awal bukan bagian dari kawasan hak PT Mitra Ogan.

“Dari masyarakat, kami menuntut hak kami dan jangan PT Mitra Ogan mengambil tanah ini secara paksa dan selama-lamanya,” ujar Sahlan, Sabtu (8/2/2025).

 

Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur tahun 1993, tanah ulayat memerlukan izin dari masyarakat setempat untuk pengelolaannya.

Selain itu, perusahaan diwajibkan mengajukan perpanjangan HGU melalui badan perubahan wilayah Sumatera Selatan.

Namun, kenyataannya, HGU perusahaan telah diperpanjang hingga tahun 2032 tanpa mempertimbangkan hak masyarakat.

Di sisi lain, PT Perkebunan Mitra Ogan mengecam aksi penjarahan dan pendudukan kebun kelapa sawit di Kebun Peninjauan Inti 2 yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat.

Menurut Sekretaris Perusahaan PT Perkebunan Mitra Ogan, Mahmud Riyad, dalam pers rilis yang dikirimkan ke redaksi peristiwaterkini.net (6/2/2025) melalui whatsapp, aksi ini berdampak pada penurunan produksi dan pendapatan perusahaan.

“Oknum masyarakat tersebut menjarah tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang seharusnya dipanen perusahaan untuk diproduksi menjadi crude palm oil (CPO). Tentunya hal ini sangat merugikan, karena berpotensi menurunkan produksi dan pendapatan PT Perkebunan Mitra Ogan yang saat ini tengah berupaya bangkit,” ujarnya.

Mahmud mengatakan bahwa masyarakat yang diduga berasal dari Desa Bindu, Lubuk Rukam, dan Desa Durian secara berkelompok melakukan penjarahan dan pemanenan paksa TBS milik PT Perkebunan Mitra Ogan di afdeling III, VIII.2, dan VIII.1. Aksi tersebut semakin masif sejak pertengahan Januari 2025 hingga awal Februari.

Tidak hanya menjarah TBS, Mahmud juga menyoroti aksi pendudukan dan penguasaan lahan perkebunan kelapa sawit yang secara sah dan legal dikelola oleh PT Perkebunan Mitra Ogan hingga tahun 2032 dan 2035.

Perusahaan menegaskan bahwa aksi ini melanggar hukum dan akan diteruskan kepada aparat penegak hukum.

Dalam penyelesaiannya, PT Perkebunan Mitra Ogan telah melakukan pendekatan persuasif, termasuk menggelar pertemuan dengan warga pada 14 Januari 2025 serta melakukan mediasi pada 21 Januari, di mana perwakilan masyarakat mengaku salah dan meminta maaf.

Namun, hingga 4 Februari 2025, aksi penjarahan dan pendudukan masih berlanjut.

Perusahaan meminta dukungan Kepolisian dan Aparat Penegak Hukum untuk menangani kasus ini demi menjaga aset negara.

Mahmud menegaskan bahwa upaya ini selaras dengan arahan Presiden Prabowo dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional pada 30 Desember 2024, yang menekankan pentingnya perlindungan terhadap perkebunan sawit sebagai aset strategis nasional.

Masyarakat di satu sisi menuntut kejelasan hukum dan keadilan agar tanah adat mereka dikembalikan.

Kasus ini menjadi perhatian publik, mengingat pentingnya pengakuan terhadap hak ulayat dan perlindungan terhadap masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam.

Pemerintah diharapkan segera turun tangan untuk menyelesaikan sengketa ini secara adil dan transparan guna menghindari potensi konflik yang lebih luas di masa mendatang.