Jogja, Peristiwaterkini – Sejak Kejaksaan Agung menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi, tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023, publik dikejutkan oleh dugaan manipulasi bahan bakar minyak (BBM).
Skandal ini menyeret PT Pertamina Patra Niaga yang diduga mencampur Pertalite (RON 90) dengan Pertamax (RON 92), menyebabkan kualitas BBM yang beredar dipertanyakan.
Kerugian negara akibat praktik ini ditaksir mencapai Rp 193,7 triliun hanya dalam waktu satu tahun.
Di tengah isu kenaikan harga BBM dan penghapusan subsidi yang direncanakan pemerintah pada 2027, skandal ini menjadi pukulan telak bagi kepercayaan masyarakat terhadap Pertamina.
Pemerintah selama ini menggaungkan kebijakan energi satu harga demi efisiensi anggaran, namun fakta di lapangan justru menunjukkan buruknya tata kelola distribusi BBM.
Para konsumen yang selama ini membayar lebih untuk Pertamax kini merasa tertipu karena BBM yang mereka gunakan ternyata diduga hasil oplosan.
Reaksi masyarakat pun memanas, terutama di media sosial. Pemantauan LBH Jakarta menunjukkan bahwa banyak warga mengeluhkan kendaraan mereka mengalami penurunan performa setelah mengisi Pertamax.
Kualitas BBM yang seharusnya lebih baik justru diduga bermasalah, memunculkan kekhawatiran akan dampak jangka panjang terhadap mesin kendaraan dan keselamatan pengguna jalan.
LBH Jakarta menegaskan bahwa jika tudingan ini terbukti benar, maka negara telah gagal melindungi hak konsumen.
Skandal ini tidak hanya merugikan masyarakat secara ekonomi, tetapi juga memperlihatkan lemahnya pengawasan dalam tata kelola energi nasional.
BBM yang seharusnya memiliki standar mutu tinggi ternyata tidak terjamin kualitasnya, menunjukkan bahwa regulasi yang ada belum mampu mencegah kecurangan dalam distribusi energi.
Lebih jauh, kasus ini menyoroti perlunya reformasi besar dalam pengawasan distribusi BBM.
Jika benar ada praktik pencampuran BBM secara ilegal, siapa yang seharusnya bertanggung jawab? Apakah hanya para tersangka yang ditetapkan Kejaksaan Agung, atau ada aktor lain yang terlibat? Publik menuntut transparansi penuh dalam investigasi ini agar tidak ada pihak yang dilindungi demi kepentingan tertentu.
Untuk menampung keresahan warga dan mengumpulkan bukti nyata dari dampak yang ditimbulkan, LBH Jakarta membuka Pos Pengaduan terkait dugaan Pertamax oplosan.
Warga yang merasa dirugikan bisa melaporkan kasusnya mulai 25 Februari hingga 5 Maret 2025.
Ini menjadi langkah awal dalam menuntut keadilan dan memastikan kasus ini tidak berakhir dengan impunitas.
Skandal ini adalah ujian bagi pemerintah dan aparat penegak hukum dalam menjaga integritas tata kelola energi di Indonesia.
Akankah kasus ini dibongkar hingga ke akar-akarnya, atau justru menguap seperti banyak skandal lainnya? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan masa depan kepercayaan masyarakat terhadap negara dalam mengelola sumber daya yang seharusnya menjadi hak semua warga.