Kelangkaan LPG 3 Kg: Bukti Kebijakan Pemerintah Gagal, Rakyat Makin Menderita!

Jakarta, Peristiwaterkini – Kelangkaan LPG 3 kg semakin menjadi momok bagi masyarakat kecil dan pelaku usaha mikro di berbagai daerah.

Sejak awal Februari 2024, antrean panjang di pangkalan resmi menjadi pemandangan umum, sementara harga di pasar gelap melonjak tajam.

Kebijakan pemerintah yang melarang penjualan LPG 3 kg di tingkat pengecer sejak 1 Februari 2024 justru mempersulit akses masyarakat terhadap bahan bakar subsidi ini.

Anggota Komisi XII DPR RI, Muh Haris, menilai kebijakan tersebut tidak diikuti dengan sosialisasi yang memadai, sehingga banyak pengecer yang kebingungan dan masyarakat kesulitan mendapatkan LPG 3 kg.

“Jika memang tidak langka, kenapa rakyat harus antre panjang hanya untuk membeli gas? Jangan sampai kebijakan yang bertujuan baik malah menyengsarakan rakyat kecil,” ujar Muh Haris di Gedung Nusantara 1 DPR RI.

Data menunjukkan bahwa realisasi penyaluran LPG 3 kg di Jakarta pada tahun 2024 mencapai 414.134 metrik ton (MT). Namun, pemerintah justru menurunkan kuota menjadi 407.555 MT pada tahun 2025.

Pengurangan ini dikhawatirkan akan semakin memperparah kelangkaan, terutama di wilayah dengan konsumsi tinggi.

Masyarakat yang bergantung pada LPG subsidi untuk keperluan sehari-hari pun semakin tertekan.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengklaim bahwa tidak ada kelangkaan, hanya pembatasan pembelian.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Banyak warga mengeluh karena kesulitan mendapatkan gas,

bahkan beberapa pelaku usaha mikro terpaksa menghentikan produksi akibat stok LPG yang menipis.

Jika kondisi ini terus berlanjut, dampaknya bisa meluas ke berbagai sektor ekonomi rakyat.

Muh Haris mendesak pemerintah untuk segera mengevaluasi kebijakan distribusi LPG 3 kg. Menurutnya, ada empat langkah yang harus segera diambil.

Pertama, pemerintah harus menyesuaikan kuota LPG subsidi agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Pengurangan kuota hanya akan memperburuk keadaan dan memicu spekulasi harga.

Kedua, mekanisme distribusi harus dievaluasi agar lebih fleksibel tanpa mengorbankan efektivitas subsidi.

Ketiga, pengawasan harga di lapangan harus diperketat untuk mencegah spekulan mengambil keuntungan dari kelangkaan LPG 3 kg.

Jika dibiarkan, harga akan terus melambung dan semakin membebani rakyat. Keempat, sosialisasi aturan baru harus dilakukan secara masif agar masyarakat dan pengecer tidak kebingungan.

Kurangnya edukasi dari pemerintah menjadi salah satu faktor utama mengapa kebijakan ini malah menciptakan keresahan.

DPR berencana memanggil PT Pertamina dan Kementerian ESDM untuk meminta penjelasan terkait kondisi di lapangan.

Muh Haris menegaskan bahwa DPR akan mengawal kebijakan distribusi LPG 3 kg agar tetap berpihak kepada rakyat kecil.

“Kami tidak akan tinggal diam melihat rakyat kesulitan. Pemerintah harus bertindak cepat sebelum kondisi ini semakin memburuk,” tegasnya.

Jika permasalahan ini tidak segera diselesaikan, krisis LPG 3 kg bisa berdampak luas terhadap ekonomi rumah tangga dan pelaku usaha kecil.

Rakyat yang seharusnya dilindungi justru menjadi korban dari kebijakan yang kurang matang.

Pemerintah harus segera bertindak agar kelangkaan ini tidak berujung pada krisis yang lebih besar.